Just another free Blogger theme

Iklan

Diberdayakan oleh Blogger.

Video Terpopuler

Artikel Pilihan

Cari Blog Ini

Arsip Blog

Iklan

Iklan

Iklan

Artikel Pilihan

Bolasport

Populer Tahun ini

Populer Minggu ini

Populer Bulan ini

Mengenai Saya

Foto saya
Peduli, Berbudaya & Kreatif

detikcom Blogger Template

detikcom Blogger Template
detikcom Blogger Template

Notification

Iklan

Iklan

Iklan

Iklan

Berita Terpopuler

Berita Terpopuler

Selasa, 20 Agustus 2024

Foto bersama pada acara puncak Grand Final Pemilihan Randa Ante Kabilasa Kota Palu 2024, di salah satu hotel di Kota Palu, Ahad (18/8/2024). FOTO: ISTIMEWA

SULTENG RAYA - Sekretaris Daerah Kota Palu, Irmayanti Pettalolo, resmi menutup acara puncak Grand Final Pemilihan Randa Ante Kabilasa Kota Palu 2024, di salah satu hotel di Kota Palu, Ahad (18/8/2024).

Sekkot Irmayanti menyampaikan apresiasi kepada Yayasan Dey Ante Yojo Pageant dan Dinas Pariwisata Kota Palu yang telah bekerja keras untuk menyelenggarakan itu yang menurutnya telah menjadi bagian dari tradisi sejak tahun 1980.

Lanjutnya, hal itu adalah salah satu wujud kebanggaan dalam mempromosikan keindahan budaya dan potensi pariwisata Kota Palu.

Sekkot menyatakan, acara yang diikuti oleh generasi muda berusia 17 hingga 24 tahun dari 8 kecamatan di Kota Palu, bukan hanya sekedar ajang kompetisi. Lebih dari itu, ajang itu adalah wadah untuk menumbuhkan rasa cinta dan bangga terhadap kota, sekaligus menjadi platform untuk mempersiapkan duta-duta pariwisata yang akan menjadi ikon promosi Kota Palu di kalangan milenial.

"Kita semua tahu bahwa perjalanan menuju acara ini tidaklah mudah. Terakhir kali Pemilihan Randa Kabilasa Kota Palu diselenggarakan pada 2018, sebelum kita dihadapkan dengan bencana gempa, tsunami, dan pandemi covid-19. Namun, tahun ini kita kembali bangkit," kata Sekkot.

Sekkot berharap, pemenang dari Pemilihan Randa Ante Kabilasa Kota Palu 2024 tidak hanya membawa kebanggaan bagi dirinya sendiri, tetapi juga dapat menjalankan tugas sebagai duta pariwisata dengan penuh tanggung jawab.

Mereka, kata dia, adalah cerminan dari kecantikan, kecerdasan, dan kepribadian yang luhur, yang akan membawa nama baik Kota Palu ke kancah nasional maupun internasional.

 "Semoga acara ini membawa manfaat dan menjadi langkah awal yang baik bagi kemajuan pariwisata Kota Palu," tutup Sekkot. RHT


Sulawesi Tengah terkenal dengan kekayaan budaya dan keunikan adat istiadatnya, salah satunya adalah upacara adat pernikahan Suku Kaili. Pernikahan adat Kaili terdiri dari tiga tahapan utama: proses sebelum pernikahan, upacara pernikahan, dan tahap setelah pernikahan. Masing-masing tahap ini memiliki prosesi adat yang unik dan penuh makna. Artikel ini akan fokus pada tahapan sebelum pernikahan dalam adat pernikahan Suku Kaili.

1. Notate Dala (Mencari Informasi)

Notate Dala merupakan langkah awal dalam proses pernikahan adat Kaili, di mana pihak laki-laki akan mencari informasi tentang status gadis yang menjadi calon pengantin. Dalam tahap ini, pihak keluarga laki-laki menyelidiki apakah gadis tersebut sudah terikat dengan laki-laki lain atau masih bebas. Jika gadis tersebut tidak terikat, maka seorang pemuka adat akan diutus untuk melakukan pendekatan informal kepada keluarga gadis.

2. Neduta atau Nebolai (Proses Meminang)

Neduta dan Nebolai adalah istilah yang digunakan untuk proses meminang dalam adat Kaili, yang dibedakan berdasarkan status sosial. Neduta diterapkan pada golongan masyarakat biasa, sedangkan Nebolai berlaku bagi golongan bangsawan. Meski berbeda dalam penerapan, keduanya memiliki makna yang sama, yaitu lamaran resmi yang diajukan oleh pihak laki-laki untuk mengikat gadis pilihan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan.

3. Nanggeni Balanja (Mengantar Seserahan)

Nanggeni Balanja adalah tahap di mana pihak laki-laki mengantar seserahan atau harta kepada pihak perempuan. Seserahan ini meliputi uang serta berbagai keperluan wanita yang menandakan penghargaan dan tanggung jawab pihak laki-laki. Proses ini dipimpin oleh tokoh adat, dan seserahan yang diberikan juga mencerminkan kemampuan serta status sosial calon pengantin pria.

4. Nopasoa (Pengasapan)

Nopasoa adalah prosesi pengasapan yang serupa dengan tradisi siraman di budaya lain. Pengantin perempuan menjalani mandi uap menggunakan ramuan tradisional yang terbuat dari daun-daunan dan bunga wangi. Batu panas dimasukkan ke dalam loyang besar yang berisi ramuan tersebut, menghasilkan uap yang menyelimuti tubuh calon pengantin. Tujuan dari Nopasoa adalah untuk membersihkan tubuh, menghilangkan bau, dan mempercantik calon pengantin menjelang hari pernikahan.

5. Nogigi (Membersihkan Bulu Wajah)

Nogigi adalah prosesi pembersihan bulu-bulu halus di wajah, yang dipercaya oleh masyarakat Kaili sebagai tindakan untuk menghilangkan celaka. Bulu-bulu yang tumbuh dianggap membawa nasib buruk, sehingga ritual ini bertujuan untuk membersihkan segala hal yang tidak diinginkan sebelum memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri. Ritual ini dilakukan dengan menggunakan alat cukur serta beberapa bahan tradisional seperti gula merah dan telur, dan biasanya dilaksanakan di pagi hari menjelang matahari terbit.

6. Nokolontigi (Malam Nokolontigi)

Nokolontigi adalah prosesi terakhir sebelum pernikahan, yang dilakukan pada malam hari di rumah calon pengantin perempuan. Prosesi ini dilakukan sehari sebelum upacara akad nikah, dengan tujuan untuk memberikan kekuatan spiritual kepada kedua calon pengantin, melindungi mereka dari gangguan roh jahat, serta memberikan makna simbolik mengenai ancaman jika terjadi perceraian. Dalam ritual ini, daun pacar (kolontigi) yang dihaluskan dioleskan di tangan calon pengantin, minyak kelapa dioleskan di kepala, serta kapur sirih dan bedak dipakaikan di leher, sebagai manifestasi dari sikap dan janji dalam pernikahan.

Dengan selesainya rangkaian prosesi adat sebelum pernikahan ini, calon pengantin siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu upacara pernikahan yang akan menyatukan mereka dalam ikatan suci.

Tradisi ini menunjukkan betapa kayanya budaya Suku Kaili dan pentingnya menjaga serta melestarikan warisan leluhur yang penuh makna.

Palu – Tradisi Adat Petambuli, sebuah ritual sakral dalam prosesi pernikahan Suku Kaili di Sulawesi Tengah, kini menghadapi ancaman serius. Krisis generasi menjadi ancaman terbesar bagi kelangsungan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun ini.

Tradisi Adat Petambuli adalah dialog adat yang dilakukan mempelai pria bersama tokoh agama sebelum ijab kabul. Dalam ritual ini, mempelai pria meminta izin untuk masuk ke rumah mempelai wanita, menandakan penghormatan dan kesungguhan dalam menjalani pernikahan. Prosesi ini dilengkapi dengan penggunaan tiga benda sakral: Doke (tombak), Guma (parang panjang), dan Kaliavo (tameng). Benda-benda ini bukan hanya simbol, tetapi juga melambangkan keberanian, keteguhan, dan perlindungan yang diharapkan dalam kehidupan rumah tangga.

Namun, tradisi yang kaya akan makna ini kini mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Banyak pemuda Suku Kaili yang menganggap adat ini tidak lagi relevan dengan kehidupan modern. Mereka lebih tertarik pada budaya luar dan gaya hidup praktis yang ditawarkan oleh globalisasi, sehingga semakin menjauhkan diri dari akar budaya mereka.

Muhtar, seorang pelaku Petambuli di Desa Beka, menyampaikan kekhawatirannya. "Tradisi Adat Petambuli adalah jantung dari identitas kami sebagai Suku Kaili. Setiap elemen dalam ritual ini memiliki makna yang dalam dan penting untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Sayangnya, anak-anak muda kita sekarang lebih memilih hal-hal modern dan melupakan tradisi ini," ujarnya dengan nada prihatin.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan tradisi ini, seperti mengadakan pelatihan adat dan sosialisasi budaya, partisipasi generasi muda masih sangat minim. Banyak dari mereka yang lebih tertarik pada pendidikan dan karier di kota, meninggalkan kampung halaman serta tradisi yang mereka anggap tidak lagi relevan.

Muhtar juga menekankan pentingnya peran pendidikan dalam menyelamatkan Tradisi Adat Petambuli. "Kita harus memperkenalkan nilai-nilai adat ini sejak dini kepada anak-anak kita. Jika tidak, mereka akan kehilangan rasa memiliki terhadap warisan budaya ini, dan Tradisi Adat Petambuli akan hilang seiring dengan berjalannya waktu," tambahnya.

Krisis generasi ini tidak hanya mengancam kelangsungan Tradisi Adat Petambuli, tetapi juga mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh berbagai tradisi budaya lainnya di Indonesia. Tanpa langkah-langkah konkret untuk melibatkan
generasi muda, warisan budaya yang kaya ini bisa saja lenyap.
















MEDIA KAILIMeniup Lalove dari hidung merupakan cara unik yang melekat pada masyarakat Suku Unde dari pegunungan Kamalisi Kabupaten Donggala.

Di sana sejak 300 tahun lalu menggunakan instrumen ini sebagai alat untuk menjaga hubungan manusia dengan alam khususnya tanaman padi di ladang.

Hal itu disampaikan Hajir selaku pelatih dan pelaku peniup lalove dari hidung pada pelaksanaan pelatihan pembuatan lalove dan meniup dari hidung yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah (BPKW) XVIII Sulteng - Sulbar, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia.

Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 3 hari, mulai tanggal 1 hingga 3 September 2023 dan dilaksanakan didua tempat yaitu di posyandu Dusun III dan di SD satu atap di Desa Povelua Kecamatan Banawa Tengah Kabupaten Donggala.

Pelaksana Program Smiet Lalove, mengatakan, kegiatan itu merupakan program bantuan dana fasilitasi kebudaayan. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut ia awalnya mengusulkan programnya ke kementerian dengan harapan akan ada tanggapan serius dari pemerintah akan pentingnya upaya penyelamatan lalove ditiup dari hidung.

Smiet menjelaskan, pelatihan ini dibuat seperti layaknya penampilan di pentas seni dan dilakukan pada malam hari agar pesertanya merasa percaya diri.

“Kami seting seperti seni pertunjukan agar mereka merasakan bagaimana rasanya tampil di depan umum, dan dengan kesederhaan mereka.mampu memukau penonton walaupun hanya masyarakat desa Povelua,” terangnya.

Ia menuturkan lalove salah satu intrumen yang terbuat dari bambu vo dan hanya terdapat di puncak gunung.

“Suaranya akan nyaring dapat terdengar antar lembah dan sekitar gunung, seperti itu kondisi yang mereka ceritakan dan bahkan saat musim padi menguning di gunung suara itu layaknya seperti konser Lalove di alam,” tuturnya.

Smiet menambahkan, salah satu alat musik tertua di dunia dan terunik ini memiliki 3 lobang nada, 2 di bawah satu di atas cara memainkan dan meniupnya pun sangat sulit butuh dan keterampilan khusus.

“Meniup lalove dari hidung tidak sekedar unik namun sakral bagi Petani di pegunungan Kamalisi Suku Unde, salah satunya Puntana bagian dari Povelua, tempat tertinggi tempat ladang petani,” ujarnya.

Di tempat yang sama Hajir menuturkan bahwa nenek mereka sampai ke bapaknya menggunakan Lalove sebagai komunikasi penting yang bernilai sakral untuk menghormati alam.

“Saat kami berada di ladang pertanian, kami tidak boleh berbicara dengan bahasa sehari hari, walaupun dengan bahasa asli suku Unde, jika itu dilakukan maka dengan sendirinya panen akan kurang maksimal, dan bahkan gagal. Kami hanya boleh meniup lalove sebagai ungkapkan kesyukuran dan kekaguman kami pada Padi yang tumbuh berbulir bagus,” tuturnya.

Selain itu, menurut Aulia (73) salah satu asisten pelatih mengatakan saat ini hasil pertanian mereka tidak seperti dulu lagi. Ia mengungkapkan hingga hari ini pertanian di ladang sudah jarang melakukan tradisi tua ini, dan pegunungan sepi dari bunyi lalove.

“Sudah kurang bagus hasil padi kami sekarang ini bahkan sering gagal karena banyak hama dan kami rugi waktu serta tenaga, dengan adanya pelatihan ini kami merasa ada sesuatu yang hilang dari tradisi kami dulu, salah satunya instrumen lalove ini tidak lagi jadi bagian dari kehidupan petani, dahulu setiap.masuk musim panen, seluruh ladang berbunyi bahkan hingga malam hari,” ujarnya.

Ia menambahkan, selaku penerus tradisi, Aulia berterimakasih pada pemerintah yang sudah memberikan kesempatan dan mengingatkan mereka akan pentingnya menghidupkan kembali budaya luhur ini.

“Dari pelatihan ini kami akan melatih murid SMP dan SD di Povelua agar lalove dari hidung jadi instrument musik andalan mereka dan bagi generasi Povelua bangga dan bisa mewariskan budayanya. Kami akan berusaha mengajarkan anak kami sampai bisa memainkan dan membuat agar kelak mereka melanjutkan tradisi kami, sebab berhubungan erat dengan sumber hidup kami di ladang, selain itu lalove ini juga dapat mengobati perasaan orang yang sakit, dan banyak lagu atau sayair yang dapat dimainkan dan syairnyapun berceritra tentang masalalu yang romantis, bahkan sakral,” ungkapnya.

Salah satu peserta menyatakan mereka terharu setelah pelatihan ini mereka merasa percaya diri dan bangga bahwa memiliki kebudayan yang mungkin satu satunya di dunia.